Search

Traveling Ala Share Cost dan Nenek Moyang Orang Wae Rebo

detikTravel Community - Banyak nilai dan pembelajaran berharga yang akan traveler dapatkan saat berada di Desa Wae Rebo. Begini kisahnya.

Wae Rebo. Barangkali tidak ada yang tidak kenal dengan nama ini, apalagi di kalangan traveler nusantara bahkan dunia. Sebuah tempat wisata primadona, agaknya mimpi sebagian besar traveler adalah bisa menginjakkan kaki di desa ini. Negeri di atas awan, begitulah julukan untuk desa ini. Bagaimana tidak, Desa ini merupakan salah satu desa tertinggi di Indonesia yaitu di ketinggian 1.200 mdpl tepatnya di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Setahu saya, ada dua alternatif jalan untuk menuju ke Desa Waerebo yang bisa dilalui para pelancong yang berasal dari luar Flores. Yaitu lewat jalur dari Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat dan Jalur Kabupaten Ende. Dua daerah tersebut sama-sama memiliki bandara terdekat dengan Waerebo. Disana juga tersedia berbagai macam tipe penginapan.

Perjalanan ke Desa Wae Rebo saya lalui beberapa hari yang lalu di bulan Agustus 2018 bersama 38 orang traveler lainnya yang berasal dari hampir seluruh wilayah di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Saya adalah satu-satunya peserta berasal dari Sumatera Barat. Sebelumnya kami tidak saling kenal, pertemuan pertama kami adalah di Dermaga Labuan Bajo.

Selama beberapa bulan sebelumnya kami hanya saling kenal lewat media sosial namun kami semua memiliki tujuan yang sama yaitu Explore Wisata Indonesia, Explore Wae Rebo. Entah kenapa pada perjalanan ini para koordinator memilih jalur dari Labuan Bajo, mungkin saja biayanya lebih murah jika dibandingkan dengan lewat jalur dari Ende. Kami percayakan semuanya pada mereka. Awal pertemuan ini kami mulai dengan saling berkenalan dan bercengkarama.

Perjalanan menuju Wae Rebo kami mulai pukul 06.00 WITA dari Dermaga Labuan Bajo dengan menggunakan dua unit mobil mini bus dan satu unit mobil jenis MPV dengan harapan bisa sampai di Wae Rebo sebelum matahari terbenam, karena kabarnya melihat sunset dari lembah disana juga tidak kalah indah dengan melihat sunset di pantai

Kami sengaja tidak menggunakan jasa operator travel karena memang dari jauh-jauh hari sudah merencanakan untuk share cost saja, maksudnya biar lebih hemat. Dan share cost merupakan cara traveling yang paling menarik menurut saya. Maklum, untuk datang ke sini saja traveler seperti kami hanya bermodalkan sedikit uang dan lebih banyak modal semangat. Semua rencana perjalanan ini di rancang oleh tiga orang koordinator: Acil, Anky dan Ce Pinkan.

Perjalanan darat ini kami tempuh selama 7 jam. Dari awal perjalanan saya sudah tidak sanggup membuka mata. Jalan yang penuh dengan tikungan dan berbelok-belok disepanjang Trans Flores membuat kepala saya pusing, sehingga tidur merupakan pilihan yang sangat tepat saat itu. Sangat disayangkan, padahal pemandangan sepanjang perjalanan yang akan kami lewati kabarnya juga sangat indah. Tapi mau bagaimana lagi, mereka yang bertahan dengan mata terbuka selama perjalanan, terbukti berakhir dengan 'jackpot'.

Sesuai perencanaan, Pukul 14.00 WITA kami sampai di Desa Denge, desa terakhir yang dapat diakses dengan kendaraan sebelum menuju ke Wae Rebo. Disini kami memiliki waktu 1 jam untuk makan siang dan persiapan di rumah Pak Blesius yang merupakan warga lokal yang sudah sangat terbiasa melayani traveler yang ingin berkunjung ke Wae Rebo.

Pak Blesius memberikan pengumuman bahwa perjalanan akan ditempuh sejauh 9 KM dengan waktu tempuh rata-rata 3 jam. Untuk menghemat tenaga, juga bisa menggunakan jasa ojek lokal dengan jarak tempuh sejauh 4 KM dengan biaya Rp 50.000. Tidak semua dari kami yang menggunakan ojek, sebagian lebih memilih untuk berjalan kaki. Biar makin hemat biaya.

Pukul 14.00 kami semua sudah berkumpul di Pos 1. Tempat dimana perjalanan berat akan dimulai. Disini juga bisa kita temukan seorang bapak tua yang menyewakan tongkat kayu. Kami semua sudah langsung paham fungsi dari tongkat kayu tersebut, apalagi kalau bukan untuk membantu selama perjalanan. 1 Tongkat dihargai sebesar Rp 10.000. 'Tidak apa lah, hitung-hitung bantu si bapak,' celetukan dari salah satu anggota trip. Kami semua pun mengamini.

Dengan semangat empat lima semua anggota trip mulai mengayunkan langkah. Khas hutan pegunungan, udara disini sangat sejuk. Sebagian besar anggota trip bergerak cepat. Sebagian kecilnya bergerak cukup pelan (termasuk saya didalamnya).

Selalu saja, di setiap perjalanan saya akan memilih posisi paling belakang. Menurut saya, posisi paling belakang itu adalah yang paling menarik. Saya menyebut diri saya sebagai tim sapu-sapu. Di setiap perjalanan biasanya orang paling belakang memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa tidak ada satu orang pun yang tertinggal di belakangnya, selain itu menurut saya posisi paling belakang akan jauh lebih menarik karena biasanya akan ada seorang pemandu yang ikut menemani. Dan dugaan saya benar, ada dua orang pemandu, satunya ada di depan rombongan dan satunya lagi ada di formasi paling belakang, Pak Kontranius namanya. Binggo!

Perjalan ini ternyata tidak berjalan begitu mulus, melihat salah satu teman trip yang bernama Hanni di formasi belakang mengalami kesulitan untuk melanjutkan perjalanan. Wajahnya pucat, seluruh tubuhnya dipenuhi keringat dingin, nafasnya pun mulai tidak beraturan. Hanni Kelelahan. Disini saya, Angky dan Pak Kontranius mulai memainkan peran untuk memastikan bahwa Hanni akan baik-baik saja hingga sampai di Desa Wae Rebo. Kami harus berjalan lambat untuk dapat terus mengiringi dan mengawasi langkah Hanni. Konsekuensinya jelas, akan ada beberapa momen penting yang akan kami lewatkan jika kami terlambat sampai di Desa Waerebo.

Tapi momen itu sudah menjadi tidak penting lagi, kami harus menyingkirkan ego untuk melihat desa wae rebo di sore hari, ada hal yang lebih penting yaitu Hanni! Perjalanan ini bukan tentang siapa yang tercepat, bukan pula hanya sekedar untuk melihat keindahan Wae Rebo di sore hari.

Jauh dari itu, kami harus merayakan kemenangan saat sampai di Wae Rebo bersama-sama, tanpa kekurangan satu anggota pun. Karena perjalanan ini juga terlaksana atas ide dan usaha bersama, bahkan biaya hingga akomodasi selama perjalanan pun harus kita tanggung dan nikmati bersama. Sama rata. Saya ingat sekali pepatah yang selalu disampaikan kakak saya yang menjadi modal saya dalam menjalani kehidupan dan mencapai target hidup “tidak penting seberapa lambat kamu berjalan, sepanjang kamu tidak pernah berhenti maka kamu akan sampai ditujuan mu. Dan itulah pemenang yang sesungguhnya.

Tidak perlu berpacu untuk menjadi yang tercepat, karena nilai hidup bukan untuk di perlombakan. Nikmatilah setiap perjalanan hidupmu, tidak perlu tergesa-gesa maka kamu akan temukan makna hidup yang sebenarnya. Dan itu juga yang saya sampaikan saat melihat Hanni mulai kehilangan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan. Selalu, ia hanya mengangguk pertanda masih cukup kuat.

Setelah 3 jam perjalanan, hari sudah menujukkan pukul 17.00 WITA dan kami pun sampai di Pos 2. Di sini kami manfaatkan sejenak untuk istirahat sambil berbincang ringan dan menikmati indahnya pemandangan dan sejuknya udara khas perbukitan, disaat yang sama semua anggota trip memberikan semangat untuk Hanni agar tetap kuat melanjutkan perjalanan.

Perjalanan kami lanjutkan, kesempatan ini saya manfaatkan untuk berbincang dan berkenalan lebih jauh dengan Bapak Kontranius. Dan benar saja, berkat keterlambatan kami, saya, Anky dan Hanni jadi mendapatkan banyak informasi dan cerita-cerita penting dari Pak Kontranius yang mungkin saja tidak didapatkan teman-teman saya yang lain sebelumnya.

Saat mengetahui bahwa saya berasal dari Ranah Minang Sumatera Barat, Pak Kontranius mengatakan bahwa kita sekampung. Sontak saya menjawab â'Kok bisa?', dari situ Pak Kontranius mulai bercerita bahwa asal muasal desa Wae Rebo adalah dari seorang pemuda Minangkabau yang bernama Maro, yang mengembara jauh hingga ke Flores dan akhirnya menetap di Wae Rebo karena keindahan dan kesuburan tanahnya untuk bercocok tanam. Menurut legenda yang diceritakan Pak Kontranius, Maro terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya karena di fitnah dan diancam akan dibunuh. Di akhir pengembarannya, Maro hidup damai di Desa Wae Rebo yang hingga kini sudah merupakan keturunanya yang ke-20.

Dalam hati saya sibuk bertanya 'Benarkah? Kenapa selama ini saya sampai tidak tahu legenda tentang nenek moyang dari kampung saya sendiri? Kenapa selama ini saya tidak pernah mau mencari tahu asal usul dari Wae Rebo, padahal Wae Rebo merupakan tempat impian yang sudah lama ingin saya tuju,'. Arrgh, saya kesal pada diri saya sendiri.

Sepanjang sisa perjalanan saya lebih banyak diam, sedih rasanya, malu, miris pun tidak puas jika hanya mendengar penjelasan dari Pak Kontranius. Ingin rasanya turun kembali ke bawah hanya sekedar untuk mendapatkan akses internet dan menemukan semua informasi terkait Wae Rebo sehingga saat sampai di Desa Wae Rebo saya tidak perlu merasa bodoh sendiri di tanah leluhur tersebut. Di tengah lamunan saya, Pak Kontranius kembali menambahkan informasi untuk saya. 'Uda,' (begitu beliau memanggil saya) jika uda tidak percaya nanti lihat saja di rumah utama ada tanduk kerbau sebagai bukti bahwa leluhur kami adalah asli Minangkabau. Saya hanya mengangguk.

Hari mulai gelap, perjalanan yang seharusnya hanya 3 jam, sementara kami sudah berjalan lebih dari 4 jam dan masih belum juga sampai. Jalur mulai terlihat sepi dan mulai diselimuti awan kabut, teman-teman trip yang lain sudah jauh di depan. Sementara saya, Angky, Hanny dan Pak Kontranius masih tertinggal di belakang. Pak Kontranius mulai mewanti-wanti jika nanti ada kemungkinan kami tidak ikut prosesi penyambutan adat. Saya dan Anky pun menyampaikan, 'tidak apa-apa pak, itu tandanya nanti kami harus kembali lagi ke sini'.

Kami berempat pun tersenyum. Sepanjang sisa perjalan Pak Kontranius nampaknya berusaha menghibur kami dengan berbagai cerita soal leluhur mereka dan tanah mereka yang subur. Dan kembali momen ini saya manfaatkan untuk belajar banyak tentang Wae Rebo. Sesekali ia memetik buah kopi yang tumbuh menjulur ke jalan setapak yang kami lewati dan memperlihatkan pada kami tentang perbedaan antara Kopi Arabica Dan Kopi Robusta. Dia kembali berujar, di tanah subur inilah dulunya leluhur kami yang bernama Maro bercocok tanam.

Sampailah kami di Rumah Kasih ibu yang menandakan bahwa kami sudah sangat dengat dengan kampung adat. And what a surprise! Semua anggota tim ternyata menunggu kami berempat di sana. Agaknya mereka juga tidak rela kalau kami ketinggalan momen-momen penting seperti upacara penyambutan secara adat. Itu lah serunya kalau perjalanan dengan share cost, semua cukup tahu diri untuk bisa susah dan senang bersama, tidak boleh ada yang egois. Thanks guys!

Di Rumah Kasih ibu sudah terdapat Pepak. Pepak merupakan sejenis kentongan yang terbuat dari Bambu sebagai pertanda pada warga desa bahwa mereka kedatangan tamu. Sebuah kearifan lokal yang sangat menarik bagi saya dan teman-teman lainnya. Beberapa dari teman dengan semangat memukul mukulkan Pepak tersebut, Semua larut dalam suasana ceria. Tidak hanya itu, Pepak biasanya juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan lainnya seperti mengumpulkan warga untuk acara-acara tertentu.

Di sela itu semua, Pak Kontranius menyampaikan bahwa mulai dari Rumah kasih Ibu, kami dilarang untuk mengambil gambar apapun hingga nanti selesai acara penyambutan oleh tetua adat. Oke sipp!

Dari kejauhan mulai tampak atap rumah adat di Desa Wae Rebo. Mbaru Niang, itulah nama rumah adatnya. Saya pribadi mulai merasakan kesunyian, di benak saya mulai kembali sibuk memikirkan legenda Maro, mata saya mengelilingi seluruh lembah yang dikelilingi perbukitan tersebut. Benar-benar indah!! Pikiran saya melayang, sekejam itukah fitnah yang ditujukan kepadanya dikampung halamannya hingga ia harus mengembara sejauh ini hingga ke lembah yang dikelilingi oleh 7 bukit ini seperti yang diceritakan Pak Kontranius.

Suhu di sini sangat dingin tapi mata saya mulai memanas. Ada rasa takjub dan bangga. Saya takjub akan keindahan alam dan legenda Maro beserta pengembaraanya, disaat yang sama saya juga bangga, mimpi saya untuk menginjakkan kaki di Wae Rebo sudah menjadi nyata.

Saya kembali bertanya pada pak Kontranius tentang 7 bukit yang mengelilingi Desa Wae Rebo, karena tidak mungkin tidak ada alasannya para leluhur mendirikan desanya di sini, dan ternyata 7 bukit tersebut menggambarkan 7 roh leluhur yang senantiasa melindungi desa ini. Dilembah ini dijelaskan juga bahwa terdapat 7 unit Mbaru Niang. 7 Mbaru Niang tersebut kemudian saya ketahui dengan nama masing masingnya sebagai berikut: Rumah utama (Niang Gendang) dan 6 buah rumah Mbaru Gena (Rumah pendamping) dengan nama Niang Gena Ndorom, Niang Gena Jekong, Niang Gena Mandok, Niang Gena Pirung, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro. Pak Kontranius menunjuk satu rumah, yaitu Niang Gena Jengkong dan disanalah dia bersama keluarganya tinggal. Dan kemudian telunjuknya mengarah Ke Niang Gena Maro yang merupakan rumah yang dikhususkan sebagai guesthouse, dan disanalah nanti kami akan menginap.

Bapak Kontranius kemudian menggiring kami semua ke Niang Gendang, yaitu rumah adat utama. Dinamakan Niang Gendang karena didalam rumah adat ini disimpan berbagai alat musik tradisional yang sudah diwarisi secara turun temurun. Didalam Niang Gendang ini terdapat 8 kamar utama yang masing-masing kamarnya dihuni oleh masing-masing perwakilan suku yang ada di desa Waerebo. Untuk dapur pun terdapat ditengah rumah dan disitu juga terlihat jelas terdapat 8 tungku untuk memasak bagi masing-masing keluarga. Disini kami disambut oleh Bapak Alex yang merupakan ketua adat.

Kami dipersilahkan duduk di atas tikar yang disusun setengah melingkar, dan Pak Alex berada tepat di tengah kami semua. Pak Alex mulai menyapa kami semua dan menyambut kami dengan menggunakan Bahasa Manggarai, dan setelahnya diartikan oleh salah satu pemuda. Kira-kira intinya adalah selamat datang di Wae Rebo, anggap rumah sendiri dan kita semua di lingkungan ini adalah bersaudara. Jadi bercengkerama lah dengan warga di sini. Setelahnya pemuda lokal tersebut mulai menyampaikan beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan beselama berada dilingkungan Desa Wae Rebo. Di antaranya adalah:

- Tidak boleh menaiki selasar yang berbentuk lingkaran di tengah lapangan karena itu adalah altar bagi warga desa. Mereka menyebutnya Compang.

- Tidak boleh melewati batas lebih dari tiang utama Niang Gendang, karena itu adalah wilayah privasi yang hanya boleh dilewati oleh penghuni rumah tersebut.

- Tidak boleh membuang sampah sembarangan.

- Tidak boleh memberikan apapun kepada anak-anak desa Waerebo. Jika ingin memberikan sesuatu harus diberikan terlebih dahulu kepada orang yang lebih dewasa.

Hal ini untuk mengajarkan kepada anak-anak agar tidak bermental peminta-minta nantinya. Pada akhirnya seluruh pemberian dari tamu tersebut akan diserahkan kepada anak-anak secara merata. Tentunya pemberian tersebut bukan cuma-cuma. Seluruh anak anak disuruh berkumpul untuk melakukan sebuah pekerjaan gotong royong seperti memungut sampah, setelahnya baru pemberian dari tamu tersebut dibagikan kepada mereka. Hal ini merupakan pendidikan dini kepada anak anak bahwa untuk mendapatkan sesuatu, mereka harus berusaha. Dan kembali, saya takjub!

Sementara diberikan penjelasan oleh warga adat, mata saya sibuk mencari-cari keberadaan tanduk kerbau yang diceritakan Pak Kontranius sebagai bukti keberadaan Maro dari tanah Minang Kabau. Tapi nihil, saya tidak menemukannya didalam Niang Gendang. Setelah penyambutan, Pak Alex selaku ketua adat menyalami kami satu-persatu.

Kemudian beliau mempersilahkan kami semua untuk menuju Niang Gena Maro yang sudah disediakan untuk kami bermalam. Saya pun bergegas keluar, saya sibuk mencari keberadaan si tanduk kerbau. Seketika saya diluar saya lansgung melihat ke atap Niang Gendang dan benar saja, saya melihat tanduk kerbau itu terpampang nyata di atas atapnya. Sambil tersenyum bangga saya berucap, keren! Mungkin dirumah inilah dulunya Maro tinggal, karena hanya di rumah ini terdapat ciri khas Minangk Kabaunya.

Sampai di Niang Gena maro, kami langsung disuguhi kopi Arabica khas dan asli dari Wae Rebo. Benar benar nikmat. Sangat efektif untuk sekedar menghangatkan tubuh ditengah suhu yang sangat dingin. Di rumah ini juga sudah tersedia Kasur yang di susun secara melingkar dilengkapi dengan selimut untuk setiap tamu.

Di sela-sela menikmati secangkir kopi dan saling bercengkrama tiba-tiba Angky dan Ce Pingkan kembali teriak teriak agar semuanya mengumpulkan sumbangan untuk anak-anak di Wae Rebo seperti yang sudah kami sepakati sebelum berangkat ke Wae Rebo. Mulai dari baju, buku bacaan, mainan hingga makanan. Selalu bangga dengan teman-teman trip yang ikut membangun di setiap wilayah yang dikunjungi. Setelahnya salah satu pemuda lokal mulai mengeluarkan produk kopi khas Wae Rebo yang sudah dikemas dengan sangat baik. Ada kopi Arabica, robusta, dan kopi luwak asli hasil bumi Wae Rebo, sangat pas untuk dijadikan oleh-oleh.

Tengah malam, teman-teman mulai ribut. Mereka mengajak semua rombongan untuk ke tengah lapangan, tapi hanya sedikit yang berani bangkit dan melawan dinginnya Wae Rebo di malam hari. Katanya biar bisa ngelihat Milky Way. Saya sih iya iya saja, nggak ngerti pun apa itu milky way benar saja, pemandangan langit Wae Rebo ditengah malam benar benar menakjubkan. Mereka bilang di tengah malam kita bisa melihat rasi bintang dan galaksi dengan lebih jelas. What a perfect nigh! Pantas saja Maro betah tinggal di sini.

Paginya, kami memilih untuk menikmati sunrise yang muncul dari balik perbukitan. Perlahan kabut awan yang tadinya menutupi desa mulai sirna seiring naiknya matahari. Kami pun mulai sibuk mengabadikan momen selfie dengan kamera masing-masing. Tak lama setelahnya Pepak kembali dibunyikan oleh salah satu pemuda pertanda kami semua harus segera melaksanakan sarapan pagi. Sama dengan makan malam, kami makan bersama dengan hidangan yang sudah tersedia di lantai rumah. Kami semua melingkar dan mulai menyantap hidangan.

Belum selesai mengendorkan otot perut karena kekenyangan, diluar terdengar mulai ada yang bernyanyi lagu-lagu daerah. Kami pun beranjak keluar. Entah siapa yang memulai, kami membuat lingkaran dan bernyanyi bersama ditengah lapangan. Makin lama lingkaran semakin besar dan peserta semakin banyak. Entah siapa dan dari mana saja mereka, yang jelas mereka ikut larut dalam euvoria dan kebanggan di Wae Rebo. Semua mulai bernyanyi dan menari dengan diiringi 1 alat music okulele yang dibawa oleh salah satu pengunjung dari rombongan lain. Mulai dari lagu daerah yang berasal dari Sabang sampai Merauke, hingga lagu-lagu perjuangan.

Suasana ini cukup membuat keributan sehingga seluruh warga desa keluar dari rumah mereka dan tersenyum melihat aksi kami para pengunjung. Hingga akhirnya kami semua menyanyikan lagu Indonesia Raya, semua pengunjung yang ikut bernyanyi sontak meletakkan kepalan tangan di dada masing-masing, tanpa terasa kami semua merasakan perasaan yang mendalam hingga tak sedikit dari kami yang akhirnya tidak sanggup menahan air mata haru.

Mungkin inilah perasaan yang benar-benar menggambarkan bahwa kami benar-benar mencintai bangsa yang besar ini. 32 tahun perjalanan hidup saya dan bahkan mungkin sudah tak terhitung sudah berapa ratus bahkan ribuan kali menyanyikan lagu Indonesia Raya, baru sekali ini saya sampai meneteskan air mata haru dan bangga. Begitu juga mungkin teman-teman lainnya.

Tibalah saatnya kami harus meninggalkan negeri di atas awan yang sangat indah ini, semua mulai berkemas. Seperti sebelumnya, saya memilih untuk berjalan di urutan paling belakang. Karena saat itulah menurut saya dapat melihat dengan jelas kondisi Desa Waerebo tanpa adanya pengunjung dari luar. Desa yang indah, damai dan menenangkan. Sesekali saya menoleh ke belakang, entah ada magnet apa yang ada di sana hingga kemudian saya berujar 'Negeri di atas awan, Uda Maro, Saya akan kembali lagi ke sini,'.

Ada yang ingin bergabung dengan saya? Mari kita atur untuk share cost berikutnya. Untuk harga tiket perjalanan maupun akomodasi selama perjalanan nanti, seperti yang biasa saya lakukan kita bisa cek saja di Pegipegi atau install saja aplikasinya di smartphone kamu dari sekarang, pegi-pegi seringkali memberikan penawaran harga menarik dan terjangkau untuk para traveler berkantong minimalis, seperti saya.

#Pegipegiyuk #JelajahiIndonesiamu bersama @pegi_pegi

Let's block ads! (Why?)

https://travel.detik.com/read/2018/08/31/143500/4191042/1025/traveling-ala-share-cost-dan-nenek-moyang-orang-wae-rebo

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Traveling Ala Share Cost dan Nenek Moyang Orang Wae Rebo"

Post a Comment

Powered by Blogger.